Ku kayuh pedal sepeda fixy ku dengan perlahan, mataku berbinar melihat taman
bunga di sekitarku. Lihatlah, banyak anak kecil sedang bermain disini, menaiki
ayunan, perosotan, bahkan membuat istana pasir. Ya, disini juga ada taman
bermain. Ku kayuh lagi sampai kutemukan lebih banyak jenis bunga liar ataupun
bunga yang sengaja ditanam di tempat ini. Indah. Bagai pelangi bertaburan
dimana-mana. Aku melihat banyak sekali pasangan kekasih yang sedang berpacaran
disini. Mereka saling menautkan tangan sambil berjalan beriringan, berfoto, ada
pula yang tengah bercanda tawa. Ah, pemandangan ini malah membuatku iri. Ku
kayuh sepedaku dengan menambah kecepatan, tak sadar didepanku ada batu kecil
membuat ban sepeda ku kehilangan keseimbangan "Aaaaa...." BRUK! Aku
jatuh dengan posisi mengenaskan. Kedua kakiku tertindih sepeda. Ini sakit. Aku
meringis dan meneteskan air mata, tak sanggup bangun. Tiba-tiba kurasakan
kakiku sudah tak tertindih sepeda. Aku mendongak. Ternyata ada seorang pria
menolongku, mengangkat sepeda yang menindihku lalu disandarkan pada sebatang
pohon tak jauh dari tempatku jatuh. Ia lalu menghampiriku, berjongkok
dihadapanku.
"Kakimu terluka," ucapnya setelah melihat darah keluar dari bagian kakiku. Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan dari saku jaketnya. Mengusap darah juga debu-debu yang menempel dikakiku.
"Aww...." walau usapannya sangat lembut juga hati-hati namun tetap saja terasa perih.
"Maaf," ucapnya sambil menjauhkan sapu tangan itu dari kakiku.
"Tunggu disini sebentar," ia pergi lalu beberapa menit kemudian kembali membawa beberapa plester.
"Tahan sebentar!" titahnya. Ia tempelkan plester-plester itu pada bagian luka. Aku meringis tertahan sambil menggigit bibir bawahku.
"Selesai," ucapnya.
Ia mendongak menatapku yang jauh lebih tinggi dengan posisi seperti sekarang ini. Aku diatas ayunan sedangkan ia berjongkok dihadapanku.
"Terimakasih...Nama mu siapa?"
"Afgansyah Reza, panggil aku Afgan."
"Hem, baiklah. Terimakasih Afgan atas pertolonganmu,"
"Sama-sama," ia tersenyum. Ah, dan dikedua pipinya muncul lekukan kedalam yang sangat indah. Aku terpaku menatapnya. Dia begitu tampan.
"Kalau namamu siapa?"
"Namaku Lily,"
"Nama yang cantik, secantik orangnya."
DEG!
Ucapannya berhasil membuatku salah tingkah. Aku tersipu malu sambil menundukkan wajahku yang memancarkan semburat warna merah muda ini. Saat kepalaku masih menunduk tak berani menatapnya, muncul setangkai bunga lily putih dihadapanku. Kunaikkan kepalaku. Afgan lagi-lagi tersenyum dengan tangan kanan memegang setangkai bunga Lily yang disodorkan untukku. Kuambil bunga itu lalu kuhirup bau khas yang keluar dari bunga Lily itu. Kulihat sekeliling, ternyata disekitar kami banyak ditumbuhi bunga Lily putih yang begitu indah. Aku mendekap bunga itu didadaku sambil tersenyum kearah Afgan. Ia mengusap bekas air mata yang tadi sempat mengalir sewaktu aku jatuh dengan ibu jarinya. Lagi. Jantungku berdegup tak karuan. Perasaan aneh tiba-tiba hinggap disana. Perasaan yang sebelumnya belum pernah kurasakan dari pria manapun. Berdesir rasa nyaman juga bahagia menjalar keseluruh tubuhku.
"Ku antar kamu pulang ya! kamu ngga mungkin bisa pulang sendiri dengan keadaan kamu yang kaya gini," ia melirik sekilas kakiku yang dipenuhi plester. Aku mengangguk. Ia bangkit mengambil sepedaku. Mengulurkan sebelah tangannya untuk membantuku berdiri. Aku duduk didepan dengan posisi menyamping sementara Afgan yang mengayuh sepedaku. Ini membuat perasaanku semakin tak karuan. Kuberitahu letak rumahku yang tak jauh dari taman ini. Dia mengayuh sepedaku dengan pelan sekali. Aku senang, karena aku juga tak ingin berpisah cepat dengannya. Sepanjang perjalanan kurasakan dadanya berdegup cepat karena punggungku yang menempel pada dada bidangnya. Apa ia juga sama sepertiku? Memiliki perasaan cinta pandangan pertama? Kukira hal itu hanya gosip semata. Tapi tidak. Aku merasakannya. Ini cinta pada pandangan pertama, padamu, Afgan.
**
Sejak saat itu aku sering bertemu dengannya di taman itu. Sekedar mengobrol, berjalan santai, ataupun diam dibawah pohon pinus yang rindang. Seperti saat ini. Kusandarkan tubuhku pada batang pohon yang Afgan bilang umurnya sudah ratusan tahun. Ia ikut menyandar di sebelahku sambil memejamkan mata dibalik kacamata yang terpasang disana. Kutatap ia dengan penuh kagum. Kukatakan lagi ia begitu tampan dan mempesona. Aku terkejut ketika ia dengan cepat membuka kelopak matanya, membuat tubuhku sedikit tertarik kebelakang karena terkejut.
"Kenapa liatin aku kaya gitu, hem, aku tampan ya?" ucapnya menggoda sambil menjawil daguku.
"Ya, kamu tampan Afgan," ucapku terus terang. Ia tertawa sebentar lalu kembali menatapku dengan tatapan teduh tepat di manik mataku. Ia mengambil sebelah tanganku lalu menaruhnya didadanya.
"Rasakan ini, jantungku seperti mau lepas. Ini karena kamu,"
"Ya?" aku mendadak salah tingkah.
"Lily, mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku tak sanggup bila menyimpan perasaan ini lebih lama. Aku mencintaimu pada pandangan pertama," Ia remas tanganku lebih erat lagi didadanya.
"Aku juga mencintaimu, Afgan." sontak ia terkejut dengan jawabanku, lalu beberapa saat kemudian ia menarikku kedalam pelukannya untuk pertama kali. Cukup lama ia memelukku. Menyalurkan perasaan cintanya padaku.
The End
Peristiwa indah itu aku masih mengingatnya dengan jelas, bahkan itu menjadi moment istimewa yang pernah aku dapat sepanjang hidupku,menurutku. Dua tahun lalu ditempat ini, ditempat saat ini kakiku berpijak sambil duduk termenung beralaskan dedaunan liar disebuah taman yang berhadapan langsung dengan danau.
FLASHBACK
“aku menyukaimu” ucapnya datar sedatar papan triplek yang membuatku tercengang. Hah? Barusan itu menyatakan perasaan atau dia hanya bercanda?
“hmm, jadilah pacarku” ucapnya lagi tetap datar sambil menatapku tanpa ekspresi.
“kau bercanda?”
“aku tidak bercanda, dan aku tidak pernah bercanda tentang perasaanku ini kepadamu. Aku menyukaimu, hmm mencintaimu, hmm.. tentu saja aku juga menyayangimu, aishh.. ayolah kau mau tidak jadi pacarku? Aku tidak biasa mengatakan hal menggelikan seperti tadi,” ucapnya sambil berdecak kesal dan menggaruk kepalanya asal. Haha, kurasa ia gugup.
“hmm, tapi aku tidak”
“APA?”dia memasang wajah terkejut, sangat sangat terkejut sampai aku menutup mulutku menahan tawa melihat ekspresinya yang lucu sekali itu, Hahaha.
“aku tidak bisa menolakmu, aku juga menyukaimu Afgan” kulihat ia lebih terkejut lagi dan sedetik kemudian aku sudah berada di pelukannya yang hangat, hmm.. nyaman.
“terimakasih. Maaf jika aku tak seperti pria lain yang memliki kata-kata romantis untuk menyatakan perasaannya. Tapi aku hanyalah aku yang ingin hatimu dan dirimu hanya milikku seutuhnya” ucapnya lembut sambil tetap memelukku. Dedaunan, pepohonan, riak-riak danau yang bergerak, juga apapun yang ada ditaman ini menjadi saksi bisu antara aku dan Afgan.
FLASHBACK OFF
Setelah kejadian itu lima bulan berlalu, setiap harinya Afgan membuat bibir ini tak bisa berhenti tersenyum, hati ini tak bisa berhenti berdegup kencang, dan otak ini tak bisa berhenti memikirkannya. Hingga sampai pada akhirnya dia mencampakkanku, di tempat ini pula.
FLASHBACK
“maaf, hubungan ini kita sudahi sampai disini” ucapnya datar sambil menatap kearah danau.
“apa? Kau bercanda? Haha ini sungguh tidak lucu Afgan”
“aku serius Lily. Maaf, tapi aku tak menyukaimu lagi”
“kenapa? Kenapa kau tiba-tiba seperti ini? Apa kau sudah lupa baru saja kemarin kita berkencan sepanjang hari dan tertawa bersama, dan sekarang kau langsung mengatakan kau sudah tak suka lagi padaku?” ucapku penuh penekanan, tak percaya dengan apa yang sedang terjadi sekarang pada Afgan.
“ah, benarkah? Aku lupa” ucapnya sinis.
“a..apa? ” kurasakan mata ini mulai memanas dan tubuh ini mulai bergetar seiring Afgan yang mulai berbalik meninggalkan tempat ini juga meninggalkan kehancuran dihatiku.
“Afgaaaaaaaaaaan….” Aku terus berteriak memanggilnya tanpa mengejarnya karena tubuh ini terlanjur merosot ke tanah karena kakiku yang tak kuat menopang kesedihan yang sedang menimpa hati juga tubuhku bertubi-tubi. Dia tak menghiraukannku, malah semakin mempercepat langkah kakinya dan masuk kesebuah mobil yang sejurus kemudian pergi entah kemana.
FLASHBACK OFF
Kurasakan bulir demi bulir air mata mengalir dipipiku setelah mengingat kejadian indah juga pahit tentangnya secara bersamaan. ‘Afgan apa kau masih mengingatnya juga? Aku merindukanmu, merindukan sikap datarmu, merindukan senyummu yang berlesung pipit itu, merindukan genggaman tanganmu juga pelukanmu yang hangat. Tapi apa kau juga merindukanku?’ batinku sambil menatap langit mendung yang sepertinya sedang menemani hatiku yang sedang galau ini. Sejak kejadian dia meninggalkanku aku tak tinggal diam. Aku mendatangi rumahnya tapi yang kudapat hanya jawaban tidak tahu dari orang yang mengaku pembantu dirumah itu. Aku mencoba menghubungi ponselnya tapi tak pernah aktif. Aku mencarinya di tempat kuliah yang juga tempat kuliahku pun aku tak menemukan batang hidungnya juga sedikit pun jejaknya. Sebenarnya kau dimana? Hingga selama dua tahun aku menunggumu akhirnya aku mulai lelah. Kucoba memulai menata hati dan berpacaran dengan pria yang satu jurusan denganku dikampus, namanya Vidi. Pria yang baik hati dan selalu menuruti keinginanku. Namun apa dayaku ini, tak setitik pun aku memiliki perasaan padanya.
Beberapa saat aku termenung dalam pikiranku tentang Afgan hingga kurasakan punggungku menghangat.
“sebentar lagi akan turun hujan, dan hari sudah mulai sore lebih baik kuantar kau pulang,” ucap Vidi mengejutkanku setelah menaruh jaketnya dipunggungku.
“baiklah, ayo” aku mengalihkan pandangan kearah lain sembari menghapus bekas air mata dipipiku takut-takut membuat Vidi khawatir.
~.~.~.~.~
Setelah aku lulus kuliah dan meraih gelar sarjana aku bekerja disebuah perusahaan ternama di Jakarta sebagai sekretaris direktur utama di perusahaan itu. Dan saat ini aku sedang menghadiri sebuah acara pertunangan anak dari Pak Loyd, atasanku di kantor. Aku datang bersama Vidi, karena dia juga diundang, Vidi bilang yang bertunangan adalah temannya, tapi aku sama sekali belum pernah melihat seperti apa wajah pasangan yang akan bertunangan itu. Mataku berputar melihat setiap sudut gedung tempat pesta ini berlangsung. Sangat elegan, alunan musik dari gesekan biola juga tuts-tuts piano menambah suasana pesta menjadi lebih terkesan mewah. Acara pun dimulai. Pak Loyd menggandeng tangan istrinya seraya maju kearah depan. seluruh tamu yang berada di pesta itupun menatap kearah mereka.
“Selamat datang di acara pesta pertunangan anak kami. Kebetulan dia baru menyelesaikan study nya di Malaysia mengambil jurusan Economy Bisnis dan akan meneruskan perusahaan saya setelah saya pensiun. Sekarang mari perkenalkan Afgan dan Raisa”
DEG
Seketika aku mematung mendengar nama Afgan baru saja disebut. Apa dia Afgan yang kukenal? Apa dia Afganku? Apa dia… Terlalu banyak pertanyaan di otakku sampai mata ini benar- benar membulat tak percaya melihat siapa yang muncul disamping Pak Loyd.
“A…af..gan ?” mendadak aku tergagap.
“kau kenal dia ? dia temanku yang tadi aku ceritakan” ucap Vidi yang mendengar suaraku.
“ah, tidak. Aku tidak mengenalnya!”
“aku kira kau mengenalnya sampai memasang wajah terkejut seperti itu”
“tentu saja tidak” ucapku bohong. Tak terasa kantung mataku mulai menghangat pertanda air mata ini siap meluncur kapan saja. Dengan sekuat tenaga aku menahannya namun gagal ketika kulihat Afgan mulai menyematkan cincin ketangan seorang gadis bernama Raisa itu lalu sang gadis pun melakukan hal yang sama pada Afgan menandakan mereka telah resmi bertunangan yang akan berlanjut ke jenjang penikahan. Aku menghapus kasar air mata dipipiku seraya berbalik pergi dari tempat itu tanpa menghiraukan Vidi yang terus menerus memanggil namaku. Aku langsung menyetop sebuah taksi dan memasukinya.
“antarkan aku ke Jalan Lavender nomor 104”
“baik nyonya”
Sepanjang perjalanan menuju rumah bahkan saat dirumah pun air mata ini masih setia mengalir dipipiku. Aku merebahkan tubuhku yang sudah memakai piyama keatas tempat tidurku. Sejenak aku mengambil nafas panjang dan mencoba menghembuskannya, tapi kenapa sulit sekali saat tiba-tiba aku mengingat kejadian di pesta.
“afgan, kau tega sekali” dan aku menangis untuk kesekian kalinya.
Author PoV
“selamat datang tuan, mari saya antar keruangan direktur utama”
“tidak perlu, aku akan keruangannya sendiri” ucap seorang pria tampan bertubuh tinggi kepada seorang karyawan, tak lupa pria itu memberikan senyumnya, membuat lubang kecil disisi kanan dan kiri bibirnya muncul. Senyum yang, indah. Pria itu berjalan santai sampai ia menemukan sebuah ruangan yang menjadi tujuan utamanya datang kekantor itu. Dengan perlahan tangannya membuka kenop pintu lalu masuk dan menemukan seorang pria paruh baya tengah berkutat dengan laptopnya.
“Ayah..” sapa pria itu pada orang yang ia sebut Ayah.
“ah, kau sudah datang rupanya. Sebentar, Ayah akan telepon sekretaris untuk datang keruangan ini,” pria paruh baya itu pun menekan beberapa tombol disambungan telepon dan meminta seseorang diseberang sana untuk segera keruangannya.
TOK TOK TOK!
“masuk”
“Pak Loyd memanggil saya?” Tanya Lily yang baru saja memasuki ruangan itu. Tak sengaja matanya menangkap sesosok pria yang sedang berdiri disamping Pak Loyd---atasannya.
DEG
Ia terkejut melihat Afgan ada diruangan itu. Ya, pria itu adalah Afgan putra dari Pak Loyd. Nampaknya tak hanya Lily yang terkejut, Afgan pun merasakan hal yang sama ketika menyadari orang yang masuk ruangan Ayahnya adalah Lily---masa lalunya. Hingga suara Pak Loyd memecahkan keheningan.
“ada yang perlu saya bicarakan padamu, mulai detik ini kau tak perlu menjadi sekretarisku lagi”
“maksud bapak, saya dipe..”
“bukan itu yang aku maksudkan,mulai sekarang saya sudah mulai pensiun dan perusahaan ini akan dilanjutkan oleh Afgan, anakku ini,” Pak Loyd menatap Afgan yang berada disampingnya dengan senyum.
“dan kau yang akan menjadi sekretarisnya” lanjutnya.
“oh begitu” Lily bingung harus menjawab apa, pikirannya mendadak tak berfungsi, dan berusaha tak mengalihkan pandangannya kearah Afgan. Sementara Afgan, dia hanya bisa menunduk, dicobanya menghirup nafas dalam-dalam namun entah mengapa oksigen terasa enggan masuk kepernafasannya.
Dengan enggan namun perlahan tapi pasti Lily memantapkan langkahnya kearah Afgan lalu mengulurkan tangannya sambil berucap “perkenalkan pak, nama saya Lily. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik diperusahaan ini,” ucapnya gugup. Afgan membalas uluran tangan Lily “ya, semoga kita menjadi partner kerja yang baik” ucapnya tak kalah gugup.
~.~.~.~.~
Tumpukkan kertas-kertas laporan tentang perusahaan nampak menggunung di meja kerja Lily. Tangannya tak berhenti bergerak lincah di laptopnya sambil sesekali menyesap kopi yang tinggal setengah. Hari sudah menunjukkan pukul 21.00 tapi tumpukkan tugas kantor seperti menyuruhnya untuk tetap terjaga sementara beberapa karyawan lain sudah mulai berhamburan pulang. Tangannya memijat lembut keningnya yang mulai terasa pusing, matanya yang mulai terasa berat dikerjap-kerjapkan, menahan kantuk. 1 jam berlalu, Lily menghembuskan nafas beratnya sembari meregangkan otot-otot ditangan, juga lehernya yang terasa pegal.
“akhirnya selesai juga. Hhhh…” disandarkan kepalanya ke sandaran kursi hingga tak sadar ia ketiduran.
CEKLEK!
Afgan keluar dari ruangannya. Ia yang langsung bekerja menggantikan ayahnya langsung mendapat banyak pekerjaan dikantor.
“Lily?” Afgan menghampirinya yang tertidur di meja kerja sekretaris samping ruangannya.
Afgan PoV
“Lily?” Aku menghampirinya yang tertidur di meja kerja sekretaris samping ruanganku. Aku tertegun sejenak menatap wajahnya yang seperti malaikat jika sedang tertidur itu. kulepaskan jas yang melekat ditubuhku untuk menutupi tubuhnya, tak tega membangunkannya yang nampak sangat kelelahan. Tanganku terulur menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Wajah yang setiap hari selalu ada dipikiranku, wajah yang sangat aku rindukan sampai saat ini. Tubuhnya tampak sedikit kurus semenjak terakhir kali aku bertemu dengannya 2 tahun lalu.
“maafkan aku… ah tidak, jangan maafkan aku. Aku tak pantas mendapat kata maaf darimu,” aku tertunduk sedih, tanganku mengepal keras menyadari betapa jahatnya aku memutuskan hubunganku dengan Lily tanpa alasan yang jelas lalu menghilang tanpa jejak, 2 tahun lalu. Kupandangi Lily cukup lama kemudian perlahan kukecup keningnya dengan lembut dan penuh perasaan.
“aku merindukanmu” ucapku saat wajahku masih beberapa senti didepan wajahnya.
Lily PoV
aku tersadar saat kurasa seseorang menaruh sesuatu di tubuhku, masih tetap terpejam.
“maafkan aku… ah tidak, jangan maafkan aku. Aku tak pantas mendapat kata maaf darimu,” terdengar suara seseorang yang kukenali adalah suara Afgan dan sepertinya tepat berada didepanku. Mataku masih terpejam tak berani terbuka sampai kurasakan Afgan mencium keningku. Kurasakan rasa nyaman menjalar keseluruh tubuhku. Darahku berdesir menerima perlakuan manis dari orang yang sangat aku rindukan selama ini.
“aku merindukanmu” ucapnya lagi, kurasakan nafasnya berhembus dikulit wajahku. Aku juga merindukanmu Afgan… tapi aku tak mengerti apa maksudnya perlakuanmu ini? jangan buat aku bingung, jangan buat luka dihati ini semakin parah saja jadinya. Jangan buat aku berpikiran untuk merebutmu dari tunanganmu!
Perlahan, kubuka mataku ketika terdengar suara sepatu Afgan yang sudah keluar ruangan. Kupeluk erat jas yang ia pakai untuk menutupi tubuhku. Seketika harum bvlgari aqva menyeruak memenuhi indra penciumanku. Wangi yang menjadi candu untukku.
“ternyata kau masih disini?” ucap Vidi yang baru datang dan berhasil mengejutkanku.
“e..eh iya” aku tergagap dan buru-buru merapikan pakaianku yang sedikit berantakan.
“ini sudah malam sekali dan semua pegawai disini sudah mulai meninggalkan kantor, ayo kuantar kau pulang!” Vidi menggenggam tanganku dan menarikku pelan.
~.~.~.~.~
Author PoV
Disebuah kantin perusahaan terlihat seorang pria dan seorang gadis tengah duduk berhadapan. Sesekali mereka memasukkan makanan kemulut masing masing sambil sedikit berbincang.
“menyebalkan” gadis itu memasukkan sesendok penuh makanan kemulutnya sambil menggerutu kesal.
“Raisa! Kau ini kenapa?” sang pria bergidik aneh menatap orang yang ia panggil Raisa itu.
“barusan ayah menelponku, aku kesal pada orangtuaku, afgaaaaan…..” Raisa menusuk-nusukkan garpunya ke steak dihadapannya dengan kasar hingga tak berbentuk, oh sungguh malang nasib steak itu #pukpuk
“memangnya ada apa?”
“mereka meminta kita cepat-cepat menikah dalam waktu dua minggu, ya tuhan setidaknya berilah aku suami seorang raja inggris, bukan orang seperti ini! nasibku sungguh sial,” Raisa mendelik kearah Afgan sambil meratapi nasibnya sendiri.
“ck, seharusnya aku yang sial bertunangan dengan gadis aneh sepertimu,” ucap Afgan kesal. Afgan menatap kearah pintu masuk kantin ketika 2 orang yang dia kenal masuk dan duduk di meja kantin bersebelahan dengannya. ‘Lily dan Vidi?’ batin Afgan terkejut.
“Hei Afgan! Kau disini juga?”Vidi melambaikan tangannya. Afgan yang menyadari itu langsung menjawab pertanyaan rekannya itu.
“iya Vid, aku biasa kemari jika sedang istirahat”
“oh begitu! Oh iya bolehkah kami gabung dengan kalian?” Tanya Vidi sembari menatap Afgan dan Raisa bergantian.
“tentu saja,” jawab Raisa singkat sambil tersenyum. Mereka berempat pun duduk dalam satu meja. Afgan dengan Raisa, Vidi dengan Lily.
“eh ngomong-ngomong ada apa kau datang ke kantorku Vid? Apa kita ada janji?” tanya Afgan pada Vidi, ia sebenarnya merasa gugup karena ada Lily didekatnya, dengan susah payah ia menormalkan cara bicaranya agar tak terlihat aneh.
“kita tidak ada janji, aku hanya ingin mengunjungi kekasihku ini” jawab Vidi, ia menoleh kearah Lily sambil tersenyum.
“ke.. kekasih?” Afgan tergagap.
“iya Lily adalah kekasihku,” Vidi menggenggam tangan Lily lalu mengecupnya singkat, membuat Lily membelalakan matanya, kaget. Afgan terdiam sejenak, hingga dirasakan jantungnya seperti berhenti berdetak, ini sakit, tidak, ini sangat sangat sakit baginya. Dengan langkah cepat ia meninggalkan kantin itu, tanpa menghiraukan suara Raisa yang terus-menerus meneriaki namanya.
~.~.~.~.~
“Ini laporannya pak, bapak hanya perlu menandatanganinya di sebelah sini,” Lily mengarahkan tangannya ke tepi bawah kertas laporan yang ia berikan pada Afgan. Afgan meraih berkas itu lalu menandatanganinya dan dikembalikan lagi pada Lily.
“ini sudah kutandatangani,”
“terimakasih pak, dan ini jas bapak yang pernah tertinggal di meja saya,” Lily menaruh jas milik Afgan kemarin yang sudah dilipat rapi keatas meja.
“eh, tunggu!” ucapan Afgan menghentikan langkah Lily yang akan keluar dari ruangan itu.
“ada urusan kantor yang perlu saya bicarakan denganmu, kutunggu setelah pulang kerja,”
“kenapa tidak sekarang saja bapak membicarakannya, lagipula ini kan dikantor?”
“aku tau, dan aku tidak bodoh. Pokoknya kutunggu kau setelah selesai kerja,”
“hmm, baik Pak. Aku permisi,” Lily keluar dari ruangan itu dengan perasaan gelisah. Untuk apa Afgan ingin bertemu dengannya? Apa benar tentang urusan kantor? Atau tentang… ah Tidak! Dengan cepat ia menghapus pikiran buruk yang melintas dikepalanya. Ia hanya perlu menata hatinya yang sejak tadi mulai kacau tak karuan.
~.~.~.~.~
Jam pulang sudah sejak 15 menit yang lalu. Afgan keluar dari ruangannya kemudian mengajak Lily ke suatu tempat. Lily terlonjak kaget melihat dimana ia sekarang setelah turun dari mobil Afgan.
“apa maksudmu mengajakku kesini Gan?” ucapnya dengan nada sedikit meninggi, otaknya berputar tentang kenangan demi kenangan yang tercipta ditempat itu. Afgan membawanya ke taman ‘mereka’, taman dimana kenangan indah dan pahit menyatu menjadi satu.
“2 hari lagi aku akan menikah,” ucap Afgan lirih. Kepalanya tertunduk kebawah. Satu menit, dua menit, suasana hening. Tak ada respon apapun dari Lily. Apa ia sudah tau? Pikirnya. Ia melihat gadis disampingnya, pundaknya terlihat bergetar, Lily menangis.
“se..selamat. semoga kau hidup bahagia dengannya.” Ucap Lily disela-sela tangisannya. Hatinya sudah hancur berkeping-keping. Duakali Afgan melakukan ini padanya, ditempat yang sama, perasaan yang sama, meremukkan hatinya.
Lily membalikkan tubuhnya hendak pergi dari tempat itu, namun Afgan menahan pergelangan tangannya. Ia membalik tubuh Lily dan memeluknya erat. Tangisan Lily semakin pecah, tubuhnya bergetar hebat.
Afgan PoV
Tubuhnya bergetar dalam pelukanku. Hatiku teriris melihatnya begini. Aku memang lelaki yang jahat, dengan tega aku membuat hatinya hancur dan menangis sampai seperti ini.
“aku terpaksa menikah dengannya, aku dijodohkan ayah dan ibuku dengan anak dari sahabat mereka dan aku tak bisa menolak. 2 tahun lalu, aku pergi meninggalkanmu untuk menyelesaikan studyku di Monash University Malaysia, bukan hanya karena itu. Aku pergi supaya aku bisa melupakan memori tentangmu, tentang senyummu yang selalu ingin kulihat, tentang pengertianmu dari sifatku yang dingin, tentang hangatnya cintamu yang selalu ingin kurasakan. Tapi ternyata, aku tak bisa melakukannya, Ly. Di hati ini masih ada namamu yang terpatri dengan jelas tanpa ada goresan sedikitpun, aku masih mencintaimu, Lily” ucap Afgan. Lily mendorong tubuhku, seketika pelukanku terlepas.
“tapi itu semua percuma saja, kau akan segera menikah dengannya. Kau tau kan, melupakan orang yang kita cintai tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi orangnya adalah dirimu, orang yang masih sangat aku cintai sampai saat ini.” ucapnya ketus. Diujung matanya masih mengalir sungai kecil walau tak sederas tadi. Kurengkuh wajahnya, mengusap air matanya dengan kedua ibu jariku. Menatap lurus kedua mata Lily yang sembab.
Demi apapun aku tidak kuat lagi. Tubuhku merosot dengan lutut yang menabrak tanah. Air mata yang sedari tadi kutahan untuk keluar bahkan lolos mengaliri kedua belah pipiku ditemani isakan yang keluar dari bibirku. Tangan kananku mengepal keras, menepuk-nepuk dadaku yang terasa sangat terhimpit oleh beban berat. Bukan. Bukan beban. Melainkan takdir. Takdir yang tak sesuai dengan keinginanku, jalan pikiranku. Masih bisakah aku mengubahnya? Mengubah hidupku kelak supaya bersamanya. Hanya mencintainya, menyayanginya, mengasihinya. Bisakah?
2 hari lagi. Salah satu jari tanganku akan terisi oleh cincin pengikat pernikahan. Cincin yang akan dipasangkan oleh mempelai wanita yang hanya ku anggap sebagai sahabatku. Aku ingin berlari dari semua ini sambil menggamit tangan Lily, membawanya ketempat yang jauh. Tempat dimana hanya ada aku dan dia saja. Tak bisa. Dia sudah milik orang lain, dan mungkin takdir orang lain.
“cukup! Hentikan… hentikan…” Lily terduduk dihadapanku, menahan tanganku yang menepuk keras dadaku sendiri lalu memelukku erat.
“jalan takdir kita berbeda. Kau dengannya dan aku…”
“dengan Vidi ?”
“iya,” ia mempererat pelukannya ditubuhku.
“ayolah ini bukan dirimu. Mana dirimu yang selalu bersikap dingin? Menangis itu bukan gayamu.” Ucapnya. Ia menarik tubuhnya, menatapku lalu menarik keatas kedua ujung bibirnya.
“jangan menatapku seperti itu, itu membuatku semakin merasa bersalah,”
“tidak ada yang salah ataupun yang benar, Tuhan hanya membuat rencana hidup kita berbeda dari yang kita inginkan,” ia kembali tersenyum. Aku bersyukur dapat melihat senyumannya lagi. Senyuman yang lebih terang dari matahari. Lebih gemerlap dari bintang. Tuhan, aku minta kau hentikan sang waktu detik ini juga. Agar aku bisa terus menatap keindahan makhluk ciptaanmu yang sedang tersenyum ini.
~.~.~.~.~
Lily PoV
Hari ini adalah hari pernikahan Afgan. Aku tak datang. Aku lebih memilih duduk berdiam ditaman ini ketimbang melihat pasangan yang saling menyematkan cincin pernikahan, itu hanya akan membuat hatiku kembali sakit setelah merelakannya. Kunikmati semilir angin sejuk yang menyapa kulit tubuhku. Hah, aku ingin hidup seperti angin. Bebas kesana kemari, bebas menyentuh apapun, bebas terbang kemanapun tanpa ada takdir yang menghalanginya. Kupejamkan kedua mataku, mendongakkan wajahku keatas merasakan terpaan cahaya pagi yang hampir siang itu.
“disini bukan tempat orang untuk tidur,” ucapan seseorang mengusik indra pendengaranku. Kubuka mataku, sontak melihat sesosok pria yang seharusnya tak berada disini.
“Afgan?”
Ia duduk disampingku, tanpa memperdulikan baju pengantinnya yang akan kotor terkena rerumputan liar yang menjadi alas taman ini. “lebih baik kau tidur disini saja,” ia menepuk sebelah pundaknya sambil mengedipkan sebelah matanya.
“ka.. kau seharusnya tak disini. Seharusnya kau sudah menikah dengan…”
“denganku?” kali ini suara perempuan. Aku menoleh kebelakang, mendapati Raisa tunangan Afgan dengan gaun pengantinnya juga, Vidi?
“Hai kekasihku… ah bukan. Aku bukan kekasihmu lagi semenjak kau memutuskan hubungan kita semalam lewat telfon hm? Ckckck… jadi begini rasanya patah hati,” Vidi berjalan kearahku, mengambil tempat disampingku yang bebas lalu menepuk dadanya sambil menampakkan wajah sedihnya, tapi sedetik kemudian ia tertawa geli.
“apa maksudnya ini? a…aku benar-benar tak mengerti,” aku menatap mereka bergantian dengan pandangan bingung. Raisa berjalan kehadapanku, mengangkat sedikit gaunnya lalu duduk tepat didepanku.
“Afgan memohon padaku untuk membatalkan pernikahan kita. Kau tau… ia tampak menyedihkan saat itu, ia menangis sambil menciumi ujung kakiku sampai-sampai rumahku banjir, Tsk… Cinta memang dapat membuat setiap orang menjadi kurang waras, Hahaha!!” ia tertawa kencang. Afgan yang mendengarnya langsung geram sambil menatap Raisa dengan mata berapi-api.
“Yaaaak! Aku tak melakukan hal memalukan seperti ituu!!” Afgan melayangkan tangannya ke puncak kepala Raisa cukup keras, menghentikan aktifitas Raisa yang masih asyik dengan kegiatan tertawanya.
“Aw…sakit Afgaaaaaaaan!!” Raisa mengerucutkan bibirnya kesal seraya mengelus-ngelus kepalanya.
“Lily, aku kasihan padamu punya kekasih seperti dia, pukulannya mengerikan, sakit sekaliii…” Raisa bergidik sambil tetap mengusap kepalanya.
“Ya sudah. Aku lega tak jadi menikah dengannya, aku menikah denganmu saja ya?” Raisa melirik Vidi disampingku, menggait sebelah tangannya sambil mengerling genit. Aku tak menyangka, ternyata Vidi melakukan hal yang sama. Ia menggenggam tangan Raisa yang melingkar disebelah tangannya lalu balas mengerlingkan matanya untuk Raisa. Apa-apaan ini….
“kalau begitu, kita pergi saja yuk pengeran ketempat yang lebih romantis. Disini tak level, huh….”
“baik tuan putri Raisa…”
Vidi dan Raisa berdiri lalu berlalu dari hadapanku dan Afgan. Pasangan yang aneh!
Sekarang hanya ada aku dan Afgan di taman ini. Aku mulai gugup. Pandanganku berlarian kesana kemari agar tak menatap wajah Afgan yang kuyakin tengah menatapku dengan tatapan aneh.
“Lily…” panggilnya. Satu kata namun seperti magnet. Mampu menarik wajahku agar menatap kedua matanya yang bening dibalik kacamata Oakley yang ia kenakan.
“Rupanya Tuhan sudah menakdirkan kau untukku…” Afgan meraih kedua tanganku, mengecupnya sekilas “Cintamu…” ia mengecupnya lagi “hatimu…” ia menuntun jari telunjuk tangan kananku ke dadaku “senyummu…” disentuhnya salah satu ujung bibirku, mengusapnya lembut “juga semua yang ada pada dirimu…” ia tersenyum hangat “adalah milikku…” ia memelukku erat lalu sejenak kemudian kembali menatapku.
“Apa kau tak bahagia aku tak jadi menikah hum ??” tanyanya karena tak dapat respon apapun dariku. Aku menghela nafas sejenak kemudian tersenyum “Aku sangat bahagia….” Kini aku yang memeluknya. Kuhirup dalam-dalam Bvlgari Aqva yang menempel ditubuhnya. Ia terkekeh kecil seraya mengelus rambut panjangku.
Terimakasih Tuhan kau temukan kami dalam takdir untuk dapat hidup bersama nantinya. Aku mencintainya, begitu mencinta dan dia pun sebaliknya.
Oh ya,Aku tak ingin mengulangnya dari awal. Karena semua peristiwa kebersamaan kita yang lalu begitu indah jika hanya untuk menjadi sebuah kenangan. Aku ingin melanjutkannya. Kita akan terus berpegangan tangan, menjadi actor dalam film kehidupan yang sempat tertunda. Merajut kembali kisah-kisah romantika atau kisah apapun yang aku pun belum tau. Apapun kisah itu aku akan terus bersamanya, disampingnya.
"Afgan... Aku mencintaimu..."
-END-
Komentar
Posting Komentar